Pada 2010, di Bandara Mutiara Palu, dua kecelakaan pesawat terjadi dalam waktu berdekatan. Kecelakaannya mirip. Di ujung landasan, moncong pesawat menempel tanah di akhir landasan. Kepada Komite Nasional Keselamatan Transportasi sang pilot mengaku kelelahan karena lima hari berturut-turut mesti terbang delapan jam. "Dia sangat ketakutan," kata sumber yang menginvestigasi kecelakaan itu kepada Tempo, Jumat (5/8) lalu.
Ironisnya, ia melanjutkan, maskapai tempat si pilot bekerja tetap gencar berekspansi. Puluhan pesawat didatangkan dalam setahun, tapi tidak dalam hal jumlah pilot.
Siasat lain untuk mengatasi keterbatasan pilot adalah merangsang mereka dengan insentif khusus agar para pilot bersedia terbang melampaui batas yang ditentukan. "Perjam di bawah 50 jam Rp 150 ribu, tapi kalau lebih dari 100 jam, perjamnya dibayar dua kali lipat," ujar manajer maskapai swasta yang tak mau disebut namanya. Praktik ini, katanya, sudah terjadi dalam beberapa tahun terakhir.
Padahal International Civil Aviation Organization atau organisasi penerbangan komersial tegas mengatur, batas maksium seorang pilot untuk terbang adalah 30 jam sepekan, 110 jam sebulan, dan setahun 1050 jam. Limit itu ditetapkan berdasarkan daya tahan dan stamina fisik dan psikologis manusia dewasa. Jika ada yang melanggar sanksinya tak boleh terbang beberapa waktu.
Cerita maskapai krisis pilot terkuak secara telanjang saat sebagian pilot Garuda Indonesia melakukan mogok terbang, 28 Juli lalu. Di luar kecemburuan soal gaji, aksi itu menunjukkan betapa penggunaan pilot asing telah menjadi solusi pragmatis. Tak cuma di Garuda dan maskapai lainnya di tanah air, maskapai di banyak negara juga menghadapi persolan serupa.
Menurut Kepala Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kementerian Perhubungan Bobby R. Mamahit di kawasan Asia Pasifik, hingga 2029, kebutuhan tenaga pilot mencapai 181 ribu orang dan teknisi pesawat udara 220 ribu orang. Kementerian memperkirakan, kebutuhan pilot untuk maskapai penerbangan nasional mencapai 500 orang per tahun, dan cuma bisa dipenuhi 300 orang.
Kesadaran memproduksi pilot baru sebetulnya sudah dirasakan para maskapai sejak 2007. Tapi karena biaya sekolah pilot sangat mahal, berkisar antara Rp 300 juta hingga Rp 500 juta, sangat sedikit orang yang berminat.
Rheza Ridwan, Chief Marketing and Business Development Alfa Flying School mengakui mahalnya biasa pendidikan pilot. Penyebabnya, selain
fasilitas pesawat latih dan simulator masih impor, juga ada beban pajak barang mewah atas fasilitas tersebut.
Karena itu Asosiasi Pendidikan Penerbangan meminta pemerintah mereduksi pajak barang mewah untuk sekolah pilot. "Ini kan fasilitas pendidikan untuk mendukung sekolah penerbangan," kata Rheza yang juga ketua asosiasi itu.
Penyebab lain krisis pilot adalah minimnya pengajar. Seorang pilot lebih suka terbang dengan jet dan dibayar lebih tinggi daripada harus menjadi instruktur.
Honor seorang instruktur, menurut Ruth Hanna Simatupang yang pernah menjadi instruktur di Sriwijaya, Batavia, Lion, dan APG Flying School, cuma Rp 100 ribu perjam. Bandingkan dengan bayaran jam terbang seorang pilot yang minimal Rp 150 ribu.
Dari dua persoalan ini, menurut Ruth, pemerintah mesti berperan. Baik menekan komponen biaya belajar, atau membuat subsidi buat sekolah swasta bagi remaja Indonesia yang ingin menjadi pilot. Pemerintah, kata kandidat doktor hukum penerbangan itu, jangan cuma merangsang ekspansi bisnis, tanpa menghitung ketersediaan sumber daya untuk menjalankan bisnis tersebut.
Direktur Jenderal Perhubungan Herry Bakti justru menuding pihak maskapai lah yang sepenuhnya harus bertanggung jawab menghitung segala aspek bisnis mereka. Krisis pilot, terjadi karena ekonomi Indonesia membaik sehingga ekspansi bisnis penerbangan meningkat. Padahal, selama krisis ekonomi sejak 1997 sampai 2004, sekolah pilot praktis tak dilirik. "Makanya kita kehilangan satu generasi pilot,"katanya. Tak heran belakangan ada maskapai yang banyak rute dan pesawatnya, tapi perjalanan sering delay (terlambat). Bilangnya alasan teknis, tapi ternyata kurang pilot
Source: http://www.tempointeraktif.com/hg/hobi/2011/08/07/brk,20110807-350421,
No comments:
Post a Comment